Beranda | Artikel
Pakaian Ihram dan (Mengingat) Kain Kafan
Sabtu, 25 Juni 2022

PAKAIAN IHRAM DAN (MENGINGAT) KAIN KAFAN

Sesungguhnya pelajaran dan faidah haji tidak terhitung. Begitu banyak pelajaran yang bermanfaat dan sangat berpengaruh pada jiwa. Diantara nasehat dan pelajaran dari haji yaitu apabila seorang muslim telah sampai ke miqat – yang Rasulullah jadikan waktu tersebut untuk mulai berihram- orang yang berhaji kemudian melepaskan pakaiannya dan mengenakan izar untuk bagian bawah tubuhnya, dan rida’ untuk bagian atas tubuhnya tanpa menutup kepala. Keadaan ini menyamakan semua jamaah haji, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang  miskin, pemimpin ataupun rakyat jelata. Kesamaan pakaian ini mengingatkan kita pada kain kafan yang mana kita semua akan mengenakannya setelah meninggal. Semua melepaskan pakaiannya dan hanya mengenakan lembaran kain putih yang tidak ada bedanya antara si kaya dan si miskin.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 الْبَسُوا الثياب الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

“Pakailah baju putih, karena itu lebih suci dan lebih baik, dan kafanilah jenazah diantara kalian dengannya”.[1]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau dikafani dengan tiga lembar kain putih dari kapas tanpa gamis maupun surban kepala. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anha.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikafani dengan tiga lembar kain putih bersih dari negeri Yaman yang terbuat dari kapas, tanpa baju gamis dan surban kepala”[2].

Semua orang yang meninggal, siapapun dia,  pasti akan seperti itu keadaannya ; dimandikan dan dilepas pakaiannya, serta dikenakan lembaran kain putih, kemudian dishalatkan, dan dikuburkan.

Orang haji ketika ia melepaskan pakaiannya pada waktu miqat dan mengenakan pakaian ihramnya hendaknya ia merenungkan baik-baik hal ini. Hendaknya ia  mengingat kematian yang merupakan akhir dari kehidupan dunia dan awal dari kehidupan akhirat.

Betapa besar manfaat haji bagi seorang hamba ketika ia mengingat kepergiannya, mengingat perpisahan dengan manusia dan kawan-kawan, mengingat bahwa ia tidak memiliki harta apapun kecuali kain kafan, satu-satunya harta yang akan ia bawa ke alam kuburnya dan itupun pasti akan hancur. Seorang penyair berkata:

Dari semua harta yang pernah kau kumpulkan selama hidupmu.. 
Hanyalah dua kain yang akan membungkus mu beserta hanuth[3]

Berkata penyair yang lain:
Itulah Qana’ah yang tak dapat dicari penggantinya..
Ia adalah kenikmatan dan peristirahatan  jiwa

Lihatlah orang-orang yang memiliki dunia dengan seluruhnya.. 
Apakah ia akan beristirahat dengan tanpa kapas dan kain kafan[4]

Telah shahih hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ  يَعْنِى الْمَوْتَ

“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan,  yakni kematian”[5].

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :  كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا “Cukuplah kematian sebagai pengingat”.

Orang yang mengingat kematian selalu memperhatikan urusan akhiratnya. Ia tidak akan menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesarnya. Mengingat kematian akan menghalangi seseorang dari berbuat maksiat , membuat hati yang keras menjadi lembut, menghilangkan kesenangan yang berlebihan terhadap dunia, dan tidak mengambil pusing terhadap cobaan-cobaan di dunia.

Sesungguhnya kain kafan yang dimasukkan kedalam kubur bersama seseorang tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun dan kain itu akan hancur. Padahal kain kafan adalah satu-satunya harta dunia yang ia bawa masuk bersamanya ke dalam kubur. Hal yang bermanfaat baginya hanyalah amal shalihnya. Telah shahih hadits dalam Shahihain dari Anas bin Malik dari Nabi bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

یَتْبَعُ المیِّتَ ثَلَاثَةٌ، فَیَرْجِعُ اثْنَانِ وَیَبْقَى  وَاحِدٌ: یَتْبَعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمُلُه، فَیَرْجِعُ أَھْلُهُ وَمَالُه، وَیَبْقَى عَمَلُه

“Orang yang mati akan  diiringi ke kubur nya oleh tiga hal. Dua akan pulang kembali dan satu akan tetap bersamanya. Tiga hal yang mengiringi orang yang mati adalah keluarganya, hartanya dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali pulang, sedangkan amalnya tetap bersamanya.”[6]

Sama-sama kita ketahui bahwa manusia itu pasti hidup bersama keluarga dan harta yang ia miliki. Kedua hal ini pasti akan meninggalkannya dan ia pun akan meninggalkan keduanya. Berbahagialah orang-orang yang dapat menjadikan kedua hal tersebut sebagai pertolongan kepada kebaikan dan ketaatan. Adapun orang-orang yang menyibukkan diri dengan keluarga dan hartanya dari mengingat Allah maka sungguh ia telah merugi. Sebagaimana orang-orang Arab berkata:

شَغَلَتْنَآ اَمْوَالُنَا وَاَهْلُوْنَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا

“Harta dan keluarga Kami telah merintangi Kami, Maka mohonkanlah ampunan untuk kami”[7]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

 لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”[8]

Keluarga dan harta yang ditinggalkan tidak akan bermanfaat bagi orang yang meninggal  selain doa dan permohonan ampun dari keluarganya dan semua harta yang pernah ia sedekahkan dengan kedua tangannya sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ ٨٨ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ

“ (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,”[9]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادٰى كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّتَرَكْتُمْ مَّا خَوَّلْنٰكُمْ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِكُمْۚ

 “ dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu”[10]

Semua yang manusia miliki berupa harta dan keluarga akan ia tinggalkan  di belakangnya. Tidak akan bermanfaat sedikit pun semua itu kecuali doa dari keluarganya atau nafkah yang pernah ia berikan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ،أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ

“Apabila seorang manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat”.[11]

Keluarga terkadang ada yang mendoakan, ada pula yang tidak mendoakan. Harta yang dahulu pernah ia miliki menjadi tidak berguna selain yang ia sedekahkan dengan kedua tangannya. Maka itu akan masuk sebagai amal yang akan menemaninya dalam kuburnya. Adapun harta yang selainnya baik sedikit ataupun banyak akan diwariskan ke keluarganya bukan untuk dirinya. Itu dilakukan sebagai balasan bagi orang yang menjaganya.

Di dalam Shahih Muslim dari Rasulullah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يقولُ ابنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قالَ: وَهلْ لَكَ -يا ابْنَ آدَمَ- مِن مَالِكَ إلَّا ما أَكَلْتَ فأفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فأبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فأمْضَيْتَ؟

Anak Adam berkata: “Hartaku, hartaku”, Allah berfirman: “Apakah engkau memiliki harta wahai anak Adam kecuali apa yang engkau telah makan dan habis, atau engkau pakai lalu rusak, atau engkau sedekahkan lalu engkau berlalu membawanya”[12]

Di dalam Shahih Bukhari dari Nabi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّكُمْ مالُ وارِثِهِ أحَبُّ إلَيْهِ مِن مالِهِ؟ قالوا:  ما مِنَّا أحَدٌ إلَّا مالُهُ أحَبُّ إلَيْهِ، قالَ: فإنَّ مالَهُ ما قَدَّمَ، ومالُ وارِثِهِ ما أخَّرَ

“Siapakah di antara kalian yang harta pewarisnya lebih dicintainya daripada harta dirinya sendiri?. Para shahabat berkata: Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun di antara kita kecuali hartanya lebih dicintainya. Beliau bersabda: Sesungguhnya harta miliknya yang sebenarnya adalah apa yang telah dipersembahkan (sebagai amal shaleh) sementara harta pewarisnya adalah apa yang ditinggalkan”[13]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهٗۚ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِاَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُوْنَۙ

“Barangsiapa yang kafir Maka Dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan Barangsiapa yang beramal saleh Maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan),”[14]

Sebagian orang Salaf berkata: “maksudnya tempat yang menyenangkan di dalam kubur ”.  Artinya, amal shalih akan menjadikan kubur orang yang beramal shalih tempat yang menyenangkan.  Meskipun tidak ada perhiasan dunia yang menyertainya seperti kasur dan bantal. Bahkan amalnyalah yang akan menjadi kasur dan bantal untuknya.[15]

Di dalam hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : Jibril berkata kepadaku:

 يا محمد عِش ما شئتَ فإنَّك ميِّت، وأَحْبب مَن شئتَ فإنَّك مفارقُه، واعمل ما شئتَ فإنَّك مُلاقيه

“Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu karna kau akan mati, berbuatlah sesukamu karena akan ada balasannya, cintailah siapa saja yang kamu suka, karna kau pasti akan berpisah dengannya, dan berbuatlah sesukamu, karena kau pasti akan dibalas sesuai perbuatanmu”[16]

Kita memohon kepada Allah urusan yang baik, balasan kebaikan yang bagus, dan petunjuk kepada apa-apa yang Allah cintai dan ridhai.

[Disalin dari لباس الإحرام والتذكیر بالأكفان Penulis  Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Penerjemah : Ahmad Zawawi. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] Al Musnad (20154)
[2] Shahih Bukhari (1264), Shahih Muslim (941)
[3] Ramuan dan wangi-wangian yang khusus dibuat untuk jenazah –pent.
[4] Lihat bait-bait ini dalam At Tadzkirah oleh Al Qurthubi (I/28)
[5] Sunan At Tirmidzi (2307) Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ (1210)
[6] Shahih Bukhari (2514), Shahih Muslim (2960). Lihat Penjelasan hadits ini dalam risalah yang dikarang oleh Al Hafidzh Ibnu Rajab yang dicetak dengan judul “Juz’un fiihil Kalaam ‘Ala Haditsi Yatba’ul Mayyita Tsalatsun”
[7] Al Fath/48 : 11
[8] Al Munafiqun/63 : 9
[9] As -Syua’ara/26 : 88-89
[10] Al An’am/6 : 94
[11] Shahih Muslim (1631)
[12] Shahih Muslim (2958)
[13] Shahih Muslim (6442)
[14] Ar Rum/30 : 44
[15] Lihat risalah yang dikarang oleh Al Hafidzh Ibnu Rajab :“Juz’un fiihil Kalaam ‘Ala Haditsi Yatba’ul Mayyita Tsalatsun” (hal. 40)
[16]  Diriwayatkan oleh Ath Thayalisi (1862), Al Hakim (IV/325). Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ (4355)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/58566-pakaian-ihram-dan-mengingat-kain-kafan.html